Belajar Ilmu Pengetahuan dengan Kurikulum Merdeka

Kamis, 22 Oktober 2020

 BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Murabahah sebagai akad transaksi pertukaran mensyaratkan adanya hak bagi penjual dalam melakukan tindakan hukum terhadap obyek yang dijualnya. Selain itu, murabahah sebagai bentuk jual beli amanah menuntut penjual dan pembeli untuk saling mengetahui dan saling berterus terang mengenai obyek jual beli baik spesifikasi barang, harga perolehan, margin yang dikehendaki, maupun metode pembayaran. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga pokok barang dan biaya pengadaannya sehingga harga perolehan baru diketahui setelah barang secara hukum dimiliki oleh penjual. Seiring muncul dan berkembangnya industri perbankan Syariah, murabahah diadopsi menjadi salah satu akad pada produk pembiayaan bank syariah. Penggunaan murabahah sebagai salah satu akad pembiayaan mengikat perbankan syariah untuk mematuhi aturan yang berlaku atasnya.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud dengan murabahah?
  2. Apakah landasan hukum murabahah?
  3. Apasajakah rukun dan syarat murabahah?
  4. Bagaimanakah pokok bahasan yang ada dalam murabahah?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Murabahah

Secara bahasa murabahah berasal dari kata Ar-ribhu yang berarti النَّمَاءُ (an-namaa’) yang memiliki makna tumbuh dan berkembang, atau murabahah juga berarti Al-Irbaah, karena salah satu dari dua orang yang bertransaksi memberikan keuntungan kepada yang lainnya. Sedangkan secara istilah, Bai'ul murabahah (murabahah) adalah:

بَيْعُ بِمِثلِ الثمَنِ الأوَّلِ مَعَ زِيَادَةِ رِبْحٍ مَعلُوْمٍ

Yaitu jual beli dengan harga awal disertai dengan tambahan keuntungan Definisi ini adalah definisi yang disepakati oleh para ahli fiqh, walaupun ungkapan yang digunakan berbeda-beda.

Ungkapan yang sering digunakan dalam transaksi murabahah adalah:

  1. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan harga beli saya atau dengan harga perolehan saya disertai dengan keuntungan sekian”.
  2.  Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan biaya-biaya yang telah saya keluarkan disertai dengan keuntungan sekian”
  3. Bila seorang penjual mengatakan: “Saya jual dengan ra’sul maal (harga pokok) disertai dengan keuntungan sekian”

Para ulama berbeda pendapat tentang lafazd ketiga ini, apakah ia sama dengan ungkapan yang pertama atau kedua? Menurut As-Shawy ungkapan tersebut tergantung pada al-‘urf (kebiasaan suatu tempat), bila kebiasaan dalam perdagangan ditempat itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan harga pokok adalah harga beli saja dan tidak termasuk biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut maka ungkapan ketiga ini masuk kategori ungkapan yang pertama. Adapun bila kebiasaan menunjukkan bahwa harga pokok adalah harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperolehnya maka ia masuk kategori ungkapan yang kedua.[1]

Ibnu Qudamah mendefinisikan murabahah sebagai jual beli dengan menghitung modal ditambah keuntungan tertentu yang diketahui.

Dapat disimpulkan, murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli amanah berdasarkan pada penetapan harga, yaitu bentuk pertukaran obyek jual dengan harga yang merupakan jumlah harga perolehan ditambah laba tertentu.[2]

  1. Landasan Hukum Murabahah

Sebagai salah satu bentuk jual beli, maka landasan yang menjadi dasar murabahah sama dengan landasan jual beli pada umumnya, baik berupa ayat maupun hadits.

Firman Allah Swt:

وَاَحَلَ الله البَيعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا  ..…

“…Padahal Allah telah menghaalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (QS. Al-Baqarah: 275)

Landasan dari hadits adalah riwayat Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah Saw. Bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبُ, وَالفِضَّةُ بِالفِضَّةِ, والبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِرِ, وَالتَّمرُ بِالتَمرِ, وَالمِلحُ بِالمِلحِ, مَثَلأً بِمَثَلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اختَلَفَت هَدِهِ الأَصنَافُ فَبِيعُوا كَيفَ شِئتُم إذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, dengan jenis yang sama, takaran yang sama, dari tangan ke tangan (pertukaran langsung). Selain hal-hal tersebut, maka jual belilah (dengan cara) sesukamu dengan syarat (jual beli tersebut) dilakukan secara langsung.

Kata فَإِذَا اختَلَفَت هَدِهِ الأَصنَافُ dalam hadits diatas, menunjukkan bahwa rasulullah saw. Memperbolehkan penjualan barang selain yang disebutkan dengan menambah keuntungan pada harga asli barang tersebut. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw hendak hijrah, Abu Bakar r.a membeli dua ekor unta dan Rasulullah berkeinginan membeli salah satunya. Beliau bersabda, “izinkan aku membeli salah satunya (secara tauliyah)” Abu Bakar berkata, “(unta) itu menjadi milikmu dengan gratis”. Rasulullah saw. Bersabda “jika tanpa membayar (harga),maka aku tidak jadi mengambilnya.”

Adapun landasan berupa ijma’, secara literer dapat kita ketahui bahwa murabahah diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan hukum islam, baik menurut jumhur ulama dari para sahabat, tabi’in, maupun para imam madzhab.

Adapun, landasan hukum yang lain yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

  1. Rukun dan Syarat Murabahah

Secara umum, jual beli terpaku pada akad yang intinya ijab kabul dan kerelaan kedua belah pihak. Apabila terpenuhi, maka jual beli tersebut sudah terlaksana dan sah. Namun demikian, masing-masing pihak memiliki hak khiyar yang terdiri dari khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar aib. Sebagai salah satu bentuk jual beli, maka rukun yang harus dipenuhi dalam murabahah adalah rukun jual beli secara umum, antara lain:

  1. Penjual dan pembeli. Keduanya disyaratkan berakal dan orang yang berbeda.
  2. Ijab kabul. Rukun ini mensyaratkan pelaku baligh dan berakal, kesesuaian antara kabul dengan ijab, dan pelaksanaannya dalam satu majelis.
  3. Obyek jual beli. Barang yang diperjualbelikan disyaratkan ada (bukan kamuflase) dan dimiliki oleh penjual. Kejelasan spesifikasi obyek jual beli adalah keharusan karena berkaitan dengan kejujuran dan kerelaan kedua belah pihak.
  4. Nilai tukar (harga). Sifatnya harus pasti dan jelas baik jenis maupun jumlahnya.

Murabahah  juga  terikat  dengan  syarat  jual  beli  pada umumnya yaitu terhindar dari cacat seperti spesifikasi yang tidak diketahui, harga yang tidak jelas, adanya unsur paksaan, tipuan, mudarat, dan segala hal yang dapat merusak akad. Selain itu, jual beli baru dikatakan sempurna apabila telah terbebas dari segala macam khiyar. Apabila syarat di atas terpenuhi, maka jual beli telah sah dan masing-masing pihak tidak berhak membatalkan jual beli secara sepihak kecuali dengan kesepakatan baru.[3]

Adapun beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi dalam murabahah adalah sebagai berikut:

  1. Harga awal diketahui. Penjual harus memberitahu kepada pembeli harga awal dari barang yang dijual. Berlaku untuk semua bentuk jual beli amanah.
  2. Laba diketahui. Laba harus diketahui karena merupakan bagian dari harga.
  3. Modal yang terukur secara pasti. Tidak dibenarkan untuk menghitung laba berdasarkan perkiraan harga awal.
  4. Tidak menggunakan harta yang dapat bertambah nilainya sebagai alat tukar, seperti menjual emas dengan emas secara murabahah.
  5. Akad jual beli pertama harus sah.
  1. Pokok Bahasan Terkait Murabahah

Murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, maka segala hal yang terkait dengan murabahah tidak terlepas dengan segala hal yang terkait jual beli pada umumnya. Aspek yang perlu diperhatikan dalam jual beli terkait keridhaan penjual dan pembeli atas barang yang dijual, harga, dan beberapa syarat terkait lainnya.

  1. Penentuan Harga: Biaya Perolehan Ditambah Keuntungan

Dalam menetapkan harga, biasanya penjual mempertimbangkan keuntungan. Keuntungan dalam jual beli dihitung berdasarkan biaya mendapatkan barang, antisipasi resiko, serta laba. Menurut Al-Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan perjalanan, resiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri pedagang.16 Sebagai jual beli amanah, harga yang diberikan penjual dalam murabahah merupakan modal yang dikeluarkan oleh penjual ditambah laba yang inginkan.

Ibnu Qudamah mengartikan laba sebagai tambahan dari harga pokok/ modal. Apabila jumlahnya tidak melebihi modal, maka tidak dapat disebut laba. Menurut Zuhaili, laba selalu mengikuti modal sehingga laba yang diambil tanpa ada modal yang sah maka laba tersebut tidak sah dan termasuk dalam upaya memakan harta orang lain secara batil.

Modal tidak selalu berupa materi, akan tetapi jasa juga termasuk modal. Sehingga, laba merupakan keuntungan di luar biaya atau modal yang dikeluarkan seperti pajak, upah pegawai, ongkos kirim, dan biaya lainnya.

Selain berdasarkan penghitungan modal baik berupa harga pokok barang dan biaya terkait pengadaannya, penetapan besaran jumlah laba juga dapat didasarkan pada besar kecilnya resiko yang mungkin diterima oleh penjual. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih  الغُنمُ بِالغُرمِ  “keuntungan diperoleh dari kepayahan/resiko”.

Jumlah laba yang dianggap masuk akal secara syara’ dan tidak terjerumus pada riba adalah yang tidak melebihi sepertiga maupun seperlima.18 Pembatasan jumlah laba yang demikian bertujuan untuk mengantisipasi timbulnya ketidaknyamanan pada kedua belah pihak dan untuk menghindari adanya upaya memakan harta orang lain secara batil. Adapun laba yang dihitung berdasarkan waktu, biasanya berlaku untuk jual beli yang menyebabkan hutangmaka hal tersebut tidak diperbolehkan karena sangat rentan terjerumus dalam praktik riba.[4]

Penggunaan uang muka dalam transaksi jual beli cukup populer saat ini. Dalam bahasa Arab, uang muka disebut ’urbun, yang memiliki beberapa bentuk ejaan beragam sepertiالعُربَانُ ,   يالعُربُونُdan العَرَبُونُ. Sebagian masyarakat awam menyebutnya رَعبُونٌ. Uang muka dapat difenisikan sebagai jumlah tertentu dari harga jual atau sewa yang diberikan oleh pembeli kepada penjual seraya berkata, ”Apabila akad terpenuhi, maka ia menjadi bagian dari harga yang disepakati. Jika tidak, maka ia akan menjadi milikmu, aku tidak akan mengambilnya.” 

Uang muka berfungsi sebagai tanda keseriusan dari pembeli untuk melakukan akad yang dijanjikannya. Uang muka bersifat mengikat penjual dan pilihan menjadi milik pembeli, apabila dia menyempurnakan akadnya maka uang muka menjadi bagian dari jumlah harga yang ditentukan, akan tetapi apabila dia membatalkannya maka uang muka menjadi milik penjual tanpa kompensasi apapun.Para ulama salaf berbeda pendapat mengenai hukum penggunaan uang muka, dalam transaksi jual beli maupun sewa. Mereka terbagi dalam dua kelompok. Kelompok yang melarang dan kelompok yang memperbolehkan.

Di antara yang melarang penggunaan uang muka adalah mayoritas ulama dari masing-masing madhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i. Mereka mengemukakan bahwa penggunaan uang muka mengandung unsur memakan harta sesama secara batil, garar dan spekulasi

Adapun yang memperbolehkan penggunaan uang muka adalah sebagian kecil dari ulama masing-masing madzhab di atas, salah satunya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Para ulama tersebut mendasarkan pendapat mereka pada riwayat Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar, Ibnu Sirin, Mujahid, Nafi’ bin Harits, dan Zaid bin Aslam. Di antaranya, hadiṡ bahwa Rasulullah saw. membolehkan penggunaan uang muka dalam transaksi dan riwayat bahwa Umar pernah mempraktikkannyaBerbeda dengan mayoritas ulama klasik, para ulama kontemporer banyak yang membolehkan penggunaan uang muka. Hal ini dapat diketahui dari semakin populernya penggunaan uang muka dalam transaksi jual beli maupun sewa-menyewa. Dalam praktik jual beli, uang muka bersifat mengikat, menjadi tanda keseriusan, dan agar jual beli tidak beralih kepada pihak lainnya.

  1. Serah terima barang

Dalam istilah fikih, serah terima barang sebagai akibat dari transaksi jual beli dikenal dengan al-qabdhu dan tidak ada perbedaan di antara ulama dalam penggunaannya. Al-Kasany mengartikan al-qabdhu sebagai penguasaan, pengosongan atau hilangnya penghalang bagi seseorang atas suatu barang secara ‘urf atau adat kebiasaan yang telah disepakati. Dalam jual beli, al-qabdhu dapat dipahami sebagai penyerahan barang dagangan oleh penjual kepada pembeli atau penerimaan barang dagangan oleh pembeli dari penjual. Para ulama berbeda pendapat mengenai cara serah terima barang berdasarkan keadaan dan sifatnya, di mana barang terbagi menjadi dua: barang tetap dan barang bergerak.

Berkaitan dengan barang tetap seperti tanah, rumah, dan sebagainya, ulama madzhab Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki sepakat bahwa serah terimanya berupa pengosongan dan pengalihan kekuasaan dari penjual kepada pembeli dengan memberikan hal-hal yang berhubungan dengan barang tersebut seperti kunci untuk rumah, akta untuk tanah, atau dengan memberikan kuasa pemanfaatannya atas barang tetap yang dimaksud. Di antara para fukaha, Imam Syafi’i menambahkan syarat kejelasan barang tetap yang diserahterimakan baik secara ukuran, kondisi, maupun letak untuk menghindari kerancuan.

Adapun barang bergerak seperti kendaraan, uang, ternak, serta barang yang dapat diukur dan ditimbang, para ulama berbeda pendapat dalam cara serah terimanyanamun dapat disimpulkan bahwa segala bentuk pengosongan dan pengalihan kuasa atas barang maupun manfaat dari penjual kepada pembeli sah secara hukum, yang dalam istilah fikih klasik dikenal dengan al-qabdhu al-ḥukmy.

  1. Pembayaran Murabahah

Salah satu bentuk jual beli yang populer adalah jual beli tangguh, yaitu jual beli dengan barang diterima pada saat akad dan pembayaran menyusul sesuai kesepakatan. Dalam jual beli tangguh, apabila kesepakatan telah terjadi, penjual menyerahkan barang kepada pembeli untuk kemudian pembeli membayar barang tersebut dalam jangka waktu yang telah disepakatiPada awalnya, jual beli secara murabahah biasa dilakukan secara kontan, di mana serah terima barang dan harga dilakukan pada saat akad. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ada yang melakukan jual beli murabahah dengan pembayaran tangguh. Dalam hal ini, biasanya pembeli menginginkan untuk mendapatkan suatu barang akan tetapi tidak memiliki alat tukar yang cukup untuk membeli barang tersebut sehingga dia meminta pihak lain untuk menjual kepadanya secara tangguh. Jual beli semacam ini diperbolehkan walaupun penjual sedikit menaikkan harga dari pasaran dengan pertimbangan kemungkinan adanya perubahan nilai barang di kemudian hari (sebagai antisipasi kerugian). Bentuk jual beli ini diperbolehkan dan bukan termasuk riba. Adapun jual beli sejenis yang digolongkan riba adalah ketika seorang penjual menawarkan barang dagangannya dengan harga sekian jika dibayar secara tangguh dan harga sekian jika dibayar secara kontan.

Di antara dalil yang memperbolehkan jual beli tangguh adalah hadits riwayat Aisyah r.a. yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw. membeli makanan dari seorang yahudi secara tangguh dengan menggadaikan baju besinyaDari riwayat ini dapat dipahami bahwa dalam jual beli tangguh, penjual boleh meminta jaminan kepada pembeli sebagai bentuk keseriusan dan antisipasi resiko kerugian dari pihak penjual apabila pembeli tidak menepati kesepakatan.

Jual beli angsur merupakan salah satu bentuk jual beli yang merupakan turunan dari jual beli tangguh dan popular pada masa sekarang. Yaitu pembeli membeli barang dengan membayar uang muka dan sisanya dibayar secara angsur selama beberapa masa yang disepakati. Bentuk jual beli ini dapat menjadi halal dan dapat pula menjadi haram. Ketentuan halal dan haram hukum jual beli semacam ini sangat tergantung dalam beberapa hal seperti kejujuran dalam memberikan spesifikasi barang, pemberian syarat, serta penghitungan harga.

Apabila jual beli murabahah dilakukan secara tangguh, maka selanjutnya akan menghadirkan hukum piutang atas penjual dan pembeli sehingga hal-hal berkenaan dengan etika piutang harus diperhatikan seperti pencacatan kesepakatan piutang (QS. Al-Baqarah: 282) dan etika menagih piutang (QS. Al-Baqarah: 280).

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan jual beli tangguh atau angsur, yaitu:

  1. Disyaratkan kepastian jumlah angsuran dan jangka waktu pembayaran untuk menghindari pertikaian dan rusaknya akad.
  2. Apabila pembeli terlambat membayar angsuran pembayaran, penjual tidak boleh menaikkan harga atau menambah nilai pembayaran dari yang telah disepakati.
  3. Penjual boleh mensyaratkan waktu tertentu sebagai tempo pembayaran dan berhak mengambil keseluruhan harga apabila pembeli tidak menepatinya.
  4. Penjual tidak boleh menahan barang selama angsuran belum dilunasi akan tetapi harus menyerahkannya pada saat akad.
  5. Apabila barang telah diterima oleh pembeli dalam keadaan baik dan rusak di tangan pembeli, maka pembeli tidak berhak mengembalikannya kepada penjual dan tetap berkewajiban membayar harga yang telah disepakati.

Demikian konsep murabahah berdasarkan literatur fikih Islam klasik berikut hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan murabahah di mana prinsip kehati-hatian dalam pengadaan barang, penentuan harga, serta akad sangat diperlukan demi menghindari riba yang dilarang berdasarkan syari’ah Islam.



BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Semua jenis transaksi pada umumnya diperbolehkan sepanjang tidak mengandung unsur riba, maysir, dan garar. Jika bai’ fudhuli termasuk kategori garar, maka perbankan syariah dalam melaksanakan murabahah telah terjebak di dalamnya, karena kontrak murabahah pada umumnya ditandatangani sebelum bank ’mendapatkan’ barang yang dipesan oleh nasabah dan melimpahkan segala konsekuensi pengadaan barang kepada nasabah. Pokok bahasan yang ada dalam murabahah adalah penentuan harga, serah terima barang dan pembayaran murabahah.


[1]        Muhammad Farid, Murabahah dalam Perspektif Empat Mazhab, Episteme Vol. 8, No. 1, Juni 2013, hal. 117-118

[2]         Leli Sofa Imama, Konsep dan Implementasi Murabahah Pada Produk Pembiayaan Bank Syariah, Iqtishadia, Vol. 1, No. 2, Desember 2014, hal. 223

[3]  Ibid., hal. 225-226

[4] Op.Cit., hal. 227




0 comments

Tinggalkan Komentar Anda