Belajar Ilmu Pengetahuan dengan Kurikulum Merdeka

Kamis, 22 Oktober 2020

 BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Secara historis dan formal, sejarah pegadaian dapat dikatakan berasal dari Eropa, yaitu di Italia, Inggris, dan Belanda, kemudian diperkenalkan di Indonesia pada sekitar abad 19 sejak Gubernur Jenderal VOC Van Imhoff mendirikan Bank Van Leening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak. Sedangkan, pemerintah mendirikan lembagai gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat dengan nama Pegadaian pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf Von Westerode sebagai Kepala Pegadaian Negeri Pertama, dengan tujuan untuk membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat. Hingga saat ini Pegadaian masih beroperasi dengan kegiatan usaha utama untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang berdasarkan jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan usaha lainnya, merujuk pada PP 103 tahun 2000.

Belakangan, bersamaan dengan perkembangan produk-produk berbasis syariah yang lain marak di indonesia, sektor pegadaian juga ikut mengalaminya. Pegadaian syariah hadir di Indonesia dalam bentuk kerjasam dengan bank syariah dengan Perum Pegadaian membentuk Unit Layanan Gadai Syariah di beberapa kota di Indonesia. Dismping itu, banyak pula bank syariah yang menjalankan kegiatan pegadaian syariah sendiri.

  1. Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian dan dasar hukum pegadaian syariah?
  2. Bagaimanakah mekanisme pegadaian syariah?
  3. Apakah perbedaan pegadaian konvensional dan pegadaian syariah?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A. Pengertian dan Dasar Hukum

Gadai dapat diartikan sebagai kegiatan meminjamkan barang yang memiliki nilai ekonomis kepada pihak tertentu guna memperoleh sejumlah uang, barang yang dijaminkanakan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dan lembaga gadai.[1] 

Menurut Budisantoso dan Triandaru, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang memiliki piutang atas sesuatu barang bergerak dimana barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang memiliki utang atau oleh orang lain atas nama orang yang memiliki utang. Orang yang berutang tersebut kemudian memberikan kekuasaanya kepada orang yang berpiutang agar dapat menggunakan barang yang dijaminkan yang telah diserahkan untuk melunasi utangnya apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajiban pada saat pinjamannya jatuh tempo.[2]

Pegadaian menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan: “gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh orang seorang berutang atau oleh orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian  biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[3]

Sedangkan, dalam bahasa arab gadai diterjemahkan dengan Irahn dan dapat juga dinamai al-habsu. Secara etimologis arti rahn adalah tetap dan lama, sedangkan al-habsu berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut. Rahn secara harafiah berarti tetap, kekal, dan jaminan, sedangkan secara definisi rahn dalah segala sesuatu yang disebut dengan barang jaminan, agunan, cagar, atau tanggungan, sehingga dapat diartikan bahwa rahn adalahmenahan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dimana barang gadai tersebut baru dapat diserahkan kembali pada pihak yang berutang apabila utangnya sudah lunas.

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa praktik rahn pada prinsipnya hampir sama dengan praktik gadai secara konvensional, dimana ada barang yang digunakan sebagai jaminan bagi kreditur atas pinjaman yang diberikan kepada debitur.[4]

Pegadaian syariah dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebgai alat tukar bukan sebagai komoditas yang dipergadangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan untuk jasa dan/atau bagi  hasil. Payung hukum gadai syariah dalam pemenuhan prinsip-pinsip syariah berpegang pada Fatwa DSN – MUI N0. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 tetang rahn yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan, dan Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002  tentang gadai emas. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.[5]

  1. B. Ketentuan Hukum Gadai Syariah

Transaksi gadai menurut syariah haruslah memenuhi rukun dan syarat tertentu, yaitu:

  1. a. Rukun gadai: adanya ijab dan kabul; adanya pihak yang berakad, yaitu pihak yang menggadaikan (rahn) dan yang menerima gadai (murtahin); adanya jaminan (marhun) berupa barang atau harta; adanya utang (marhun bih).
  2. b. Syarat sah gadai: rahn dan murtahin dengan syarat-syarat: kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan, setiap orang yang sah melakukan jual beli sah melakukan gadai. Sighat dengan syarat tidak boleh terkait dengan masa yang akan datang dan syarat-syarat tertentu. Utang (marhun bih) dengan syarat harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya, memungkinkan pemanfaatnya bila sesuatu yang menjadi utang itu tidak bisa dimanfaatkan maka tidak sah, harus dikuantifikasi atau dapat dihitunh jumlahnya bila tidak bisa diukur atau tidak dikuantifikasi, rahn itu tidak sah. Barang (marhun) dengan syarat harus bisa diperjualbelikan, harus berupa harta yang bernilai, marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah, harus diketahui keadaan fisiknya, harus dimiliki oleh rahn setidaknya harus seizin pemiliknya.

Disamping itu, menurut Fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002  gadai syariah harus memenuhi ketentuan umum berikut:[6]

  1. 1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang dilunasi
  2. 2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahn. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali dengan seizin rahn dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatanya itu sekadar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
  3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun  pada dasarnya menjadi kewajiban rahn, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sehingga biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahn.
  4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
  5. 1. Penjualan marhun
  1. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahn, untuk segera melunasi utangnya.
  2. Apabila rahn tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/diksekusi melalui lelang sesuai syariah.
  3. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpangan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
  4. Kelebihan hasil penjualan menjasi milik rahn, dan kekuranganya menjadi kewajiban rahn.

Sedangkan untuk gadai emas syariah, menurut Fatwa DSN-MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002 gadai emas syariah harus emmenuhi ketentuan umum berikut:

  1. a. Gadai emas dibolehkan berdasarkan prinsip rahn
  2. b. Ongkos dan biaya penyimpanan barang ditanggung oleh penggadai
  3. c. Ongkos penyimpanan besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
  4. d. Biaya penyimpanan barang dilakukan berdasarkan akad ijarah.

Mekanisme operasional pegadaian syariah melalui akad rahn nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya ditempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai dengan jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.[7]

  1. C. Manfaat dan Tujuan Pegadaian Syari’ah

Sifat usaha pegadaian pada prinsipnya menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan masyarakat umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik. Oleh karena itu Perum Pegadaian bertujuan sebagai berikut :

  1. 1. Turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya melalui penyaluran uang pembiayaan/pinjaman atas dasar hokum gadai.
  2. 2. Pencegahan praktik ijon, pegadaian gelap, dan pinjaman tidak wajar lainnya.
  3. 3. Pemanfaatan gadai bebas bunga pada gadai syariah memiliki efek jaring pengaman social karena masyarakat yang butuh dana mendesak tidak lagi dijerat pinjaman/pembiayaan berbasis bunga.
  4. 4. Membantu orang-orang yang membutuhkan pinjaman dengan syarat mudah.

Adapun manfaat pegadaian antara lain :

  1. Bagi nasabah : tersedianya dana dengan prosedur yang relative lebih sederhana dan dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan pembiayaan/kredit perbankan. Di samping itu, nasabah juga mendapat manfaat penaksiran nilai suatu barang bergerak secara professional. Mendapatkan fasilitas penitipan barang bergerak yang aman dan dapat dipercaya.
  2. Bagi perusahaan pegadaian :
  1. 1. Penghasilan yang bersumber dari sewa modal yang dibayarkan oleh peminjam dana.
  2. 2. Penghasilan yang bersumber dari ongkos yang dibayarkan oleh nasabah memperoleh jasa tertentu. Bagi bank syariah yang mengeluarkan produk gadai syariah dapat mendapat keuntungan dari pembebanan biaya administrasi dan biaya sewa tempat penyimpanan emas.
  3. Pelaksanaan misi perum pegadaian sebagai BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan berupa pemberian bantuan kepada masyarakat yang memerlukan dana dengan prosedur yang relatif sederhana.

  1. D. Aplikasi dalam Perbankan

Kontrak rahn dipakai dalam perbankan dalam dua hal berikut:

  1.  Sebagai produk pelengkap

Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan bai’ al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut.

  1. Sebagai produk tersendiri

Akad rahn telah dipakai sebagai alternative dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran yang dipungut dan ditetapkan di awal perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian gadai biasa, nasabah dibebankan juga bunga pinjaman yang dapat terakumulasi dan berlipat ganda.

Dalam mekanisme perjanjian gadai syariah, akad perjanjian yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Akad al-qardhul hasan

Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggandakan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).

  1. Akad al-mudharabah

Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.

  1.  Akad ba’I al-muqayyadah

Akad ini dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha berupa pembelian barang modal. Dengan demikian murtahin akan membelikan barang yang dimaksud oleh rahin.

  1. Akad ijarah

Akad ini dilakukan untuk nasabah (rahin) memberikan fee kepada murtahin ketika masa kontrak berakhir dan murtahin mengembalikan marhun kepada rahin.

  1. Akad musyarakah amwal al-inan

Akad musyarakah amwal al-inan adalah suatu transaksi dalam bentuk perserikatan antara dua pihak atau lebih yang disponsori oleh pegadaian syariah untuk berbagi hasil (profit loss sharing), berbagi kontribusi, berbagi kepemilikan, dan berbagi risiko dalam sebuah usaha.[8]

Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama (kurang lebih 15 menit saja). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti Rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional.

  1. E. Mekanisme Pegadaian Syariah

Mekanisme operasional pegadaian syariah merupakan implementasi dari konsep dasar Rahn yang telah ditetapkan oleh para ulama fiqh. Secara teknis, pelaksanaan atau kegiatan pegadaian syariah adalah:

  1. Jenis barang yang digadaikan
  2. Perhiasan: emas, perak, mutiara, intan dan sejenisnya.
  3. Peralatan rumah tangga: perlengkapan dapur, perlengkapan makan/minum, perlengkaan bertanam, dan sebagainya.
  4. Biaya Kendaraam: sepeda ontel, sepeda motor, mobil, dan sebagainya. Biaya-biaya yang dikenakan dalam pegadaian syariah meliputi biaya administrasi dan biaya penyimpanan barang gadai.

Penerapan mekanisme dalam pegadaian syari’ah bebeda sesuai dengan jenis-jenis gadainya. Berikut disajikan beberapa mekanisme dalam pegadaian:

  1. Produk Gadai (Ar-Rahn)

Untuk mengajukan permohonan permintaan gadai, calon nasabah harus terlebih dahulu memenuhi ketentuan berikut :

  1. Membawa fotokopi KTP atau identitas lainnya (SIM, Paspor, dan lain-lain)
  2. Mengisi formulir permintaan rahn
  3. Menyerahkan barang jaminan (marhun) bergerak, seperti :
  1. Perhiasan emas, berlian.
  2. Kendaraan bermotor
  3. Barang-barang elektronik.

Prosedur pemberian pinjaman (marhun bih) dilakukan melalui tahapan berikut :

  1. Nasabah mengisi formulir permintaan rahn.
  2. Nasabah menyerahkan formulir permintaan yang difotokopi; identitas serta barang jaminan ke loket.
  3. Petugas pegadaian menaksir (marhun) agunan yang diserahkan.
  4. Besarnya pinjaman/marhun bih adalah sebesar 90% dari taksiran marhun.
  5. Apabila disepakati besarnya pinjaman, nasabah menandatangani akad dan menerima uang pinjaman
  1. Produk ARRUM

Untuk memperoleh pembiayaan melalui produk ARRUM ini, calon nasabah harus memenuhi beberapa persyaratan :

  1. Calon nasabah merupakan mikro kecil di mana usahanya telah berjalan minimal 1 tahun.
  2. Memiliki kendaraan bermotor (mobil/motor) sebagai agunan pembiayaan.
  3. Calon nasabah harus melampirkan :
  1. Fotokopi KTP dan kartu keluarga.
  2. Fotokopi KTP suami/isteri
  3. Fotokopi surat nikah
  4.  Fotokopi dokumen usaha yang sah (bagi pengusaha informal cukup menyerahkan surat keterangan usaha dari kelurahan atau dinas terkait)
  5.  Asli BPKB kendaraan bermotor
  6. Fotokopi rekening koran/tabungan (jika ada)
  7. Fotokopi pembayaran listrik atau telepon
  8. Fotokopi pembayaran PBB
  9. Fotokopi laporan keuangan usaha.
  10. Memenuhi kriteria kelayakan usaha.

Apabila persyaratan di atas telah terpenuhi, maka proses memperoleh pembiayaan ARRUM selanjutnya dapat dilakukan dengan:

  1. Mengisi formulir aplikasi pembiayaan ARRUM
  2. Melampirkan dokumen-dokumen usaha, agunan, serta dokumen pendukung lainnya yang terkait.
  3. Petugas pegadaian memeriksa keabsahan dokumen-dokumen yang dialmpirkan
  4. Petugas pegadaian melakukan survei analisis kelayakan usaha serta mnaksir agunan.
  5. Penandatanganan akad pembiayaan
  6.  Pencairan pembiayaan
  1.  Produk Gadai Emas di Bank Syari’ah

Bagi calon nasabah yang ingin mengajukan prmohonan dapat menandatangani bank-bank syari’ah yng menyediakan fasilitas pembiayaan gadai emas dengan memenuhi syarat sebagai berikut :

  1. Identitas diri KTP/SIM yang masih berlaku
  2. Perorangan WNI
  3. Cakap secara hukum
  4. Mempunyai rekening giro atau tabunagn di bank syari’ah tersebut
  5. Menyanpaikan NPWP (untuk pembiayaan sesuai dengan aturan yang berlaku)
  6. Adanya barang jaminan berupa emas. Bentuk dapat emas batangan, emas perhiasan atau emas koin dengan kemurnian minimal 18 karat atau kadar emas 75%. Sedangkan jenisnya adalah emas merah dan kuning.
  7. Memberikan keterangan yang diperluakn dengan benar mengenai alamat, data penghasilan atau data lainnya.
  8. Selanjutnya pihak bank syari’ah akan melakukan analisis pinjaman yang meliputi :
  1. Petugas bank memeriksa kelengkapan dan kebenaran syarat-syarat calon pemohon peminajm
  2. Penaksir melakukan analisis terdapat data pemohon, kaslian,dan karatese jaminan brupa emas, sumber peengembalian pinjaman, penamilan atau tingkah laku calon nasabah yang mencurigakan.
  3. Jika menurut analisis, pemohon layak maka bank akan menerbitkan pinjaman (qardh) dengan gadai emas. Jumlah pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan nasabah dengan maksimal pinjaman sebesar 80% dari taksiran emas yang disesuaikan dengan standar emas.
  4. Realisasi pinjaman dapat dicairkan setlah akad pinjaman (qardh) sesuai dengan ketentuan bank.
  5. Nasabah dikenakan biaya administrasi, biaya sewadari jumlah pinjaman.
  6. Pelunasan dilakukan sekaligus pada saat jatuh tempo

Apabila sampai dengan waktu yang ditetapkan nasabah tidak dapat melunasi dan proses kolektibilitas tidak dapat dilakukan, maka jaminan dijual di bawah tangan dengan ketentuan :

  1. Nasabah tidak dapat melunasi pinjaman sejak tanggal jatuh tempo pinjaman dan tidak diperbaharui
  2. Diupayakan sepengetahuan nasabah dan kepada nasabah diberikan kesempatan untuk mencari calon pemilik. Apabila tidak dapat dilakukan, maka bank menjual berdasarkan harga tertinggi dan wajar  (karyawan bank tidak diperkenankan memliki agunan tersebut)

  1. Jasa dan Produk dalam Pegadaian Syariah

Layanan jasa serta produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai berikut:

  1.  Pemberian pinjaman atau pembiayaan atas dasar hukum gadai

Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak, seperti emas, elektronik, dan lain-lain. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, bergantung pada nilai dan jumlah barang yang digadaikan.

  1. Penaksiran nilai barang

Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang taksiran barang yang berupa emas, perak, dan berlian. Biaya yang dikenakan adalah ongkos penaksiran barang.

  1.  Penitipan barang (ijarah

Barang yang dapat dititipkan, antara lain sertifikat motor,dan tanah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.

  1. Gold counter

Merupakan fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai bukti kualitas dan keasliannya.[9]

  1. Operasional dalam Pegadaian Syariah
  1. Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian, pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam pemberian besaran pembiayaan yang dapat diberikan oleh pegadaian syariah kepada nasabah.
  2. Pegadaian syaraiah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya administrasi, tarif jasa simpan, pelunasan, dan sebagainya.
  3. Pegadaian syariah menerima biaya administrasi dibayar di awal, sedangkan untuk jasa simpan pada saat pelunasan utang.
  4. Nasabah melunasi barang yang digadaikan menurut akad: pelunasan penuh, ulang gadai, angsuran, atau tebus sebagian.

  1. Perbedaan Pegadaian Konvensional dan Pegadaian Syariah

No.

Pegadaian Syariah

Pegadaian Konvensional

1.

Biaya administrasi berdasarkan barang.

Biaya administrasi berupa persentase yang didasarkan pada golongan barang.

2

Jasa simpanan berdasarkan simpanan.

Sewa modal berdasarkan uang pinjaman.

3.

Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan akan dijual kepada masyarakat.

Apabila pinjaman tidak dilunasi, barang jaminan dilelang kepada masyarakat.

4.

Uang pinjaman 90% dari taksiran.

Uang pinjaman untuk golongan A 92%, sedangkan untuk golongan BCD 88%-86%.

5.

Jasa simpanan dihitung dengan konstanta x taksiran.

Sewa modal dihitung dengan persentase x uang pinjaman.

6.

Maksimal jangka waktu 3 bulan.

Maksimal jangka waktu 4 bulan.

7.

Kelebihan uang hasil dari penjualan barang tidak diambil oleh nasabah, tetapi diserahkan kepada lembaga ZIS.

Kelebihan uang hasil lelang tidak diambil oleh nasabah, tetapi menjadi milik pegadaian.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Gadai adalah akad sebuah kepercayaan dengan cara menjadikan sesuatu sebagai barang jaminan atas utang yang harus dibayarnya. Dan apabila utang pada waktunya tidak terbayar, maka barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual untuk membayar utangnya.

Rukun gadai terdiri dari : shighat, orang yang menggadaikan (rahin), orang yang menerima gadai (murtahin), harta yang dijaminkan (marhun), hutang (marhun bih). Sedangkan syarat gadai terdiri dari : rahin dan marhun (mempunyai kecakapan), marhun (dapat dijual apabila pada waktunya utang tidak terbayar yang nilainya seimbang dengan utang), marhun bih (merupakan hak yang harus dikembalikan kepada rahin), shighat (diungkapkan dengan kata-kata).

Perbedaan pegadaian syariah dan pegadaian konvensional adalah pada biaya adaministrasi, pengelolaan biaya hasil penjualan barang yang tidak diambil oleh nasabah dan lain-lain.


[1]        Naida Nur Alfisyahri dan dodik Siswantoro, Praktik dan Karakteristik Gadai Syariah di Indonesia, Volume 1 No. 2 Desember 2012, hal. 118

[2]        Ibid

[3]         Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 387

[4] Op Cit

[5] Op Cit., hal. 388-389

[6] Ibid., hal. 389-390

[7] Ibid., hal. 391-392

[8] Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 101

[9]        M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah (Suatu Kajian Teoritis Praktis), Pustaka Setia, Bandung, 2012, hal. 291






0 comments

Tinggalkan Komentar Anda